Matahari
pelan-pelan hendak beristirahat, memecah sinarnya menjadi semburat jingga di
ujung langit. Selalu ada ketenangan yang ditinggalkannya sebelum betul-betul
pergi. Aku selalu bisa jatuh cinta pada
senja. Tenangnya, teduhnya, tentang pulang untuk cinta.
“
Besok aku sampai. Mungkin sekitar jam 12.
Nanti aku hubungi kembali. Mohon bantuannya :D “
Kubaca
kembali sms nya. Entahlah, senja hari
ini agak beda. Di tepi garis pantai, pinggir jalan, aku menikmati sore ini.
Kulihat motorku yang kuparkir tak jauh dari
tempatku menunggu matahari pulang, ditemani motor-motor penikmat senja
di Kotaku. Indah. Tukang parkir yang dengan semangatnya berteriak, meniup
pluit, setiap ada kendaraan yang datang atau pergi juga terlihat indah. Apalagi
awan-awan di langit jingga di atas sana. Angin laut, bunyi ombak. Ah, aku
senyum sendiri.
“ Ok.
Cant wait to see u tomorrow ! “ Replied. Aku baru membalas sms nya yang masuk
ke inboxku, siang tadi. Ada segar yang terbawa ketika kubayangkan akan seperti
apa pertemuanku dengannya besok. Bagaimana rupanya? Apa yang akan kulakukan
pertama kali? Canggungkah dia? Atau justru aku yang tak akan senyaman di
pesan-pesan sebelumnya? Ahh, Lantunan nyanyian ayat-ayat suci dari
pengeras-pengeras suara masjid memecahkan khayalanku. Sudahlah, besok akan
kudapati jawabnya. Aku pulang dengan senyum di sepanjang jalan.
Esoknya,
aku ijin dari sekolah yang setahun ini jadi tempatku mengabdi. Syukurlah Kepala
Sekolah dan murid-muridku mengerti. Kuajukan alasan akan menjemput kerabat yang
datang dari luar kota. Aku tak berbohong bukan? Sehabis dapat ijin, kularikan
motorku ke Mutiara, airport di
kotaku, Palu. Lagi-lagi, jalan raya tak pernah seindah ini.
Kulihat
layar kecil di bandara mungil ini, sementara. Bandara-ku ini sedang dalam
renovasi besar-besaran. Semoga dia tak kaget melihat klasiknya terminal pesawat
ini ketika mendarat. Apalagi setelah melihat lukisan maha indah dari jendela
pesawat. Oh Tuhan, sekitar 20 menit lagi burung besi itu datang membawanya di
hadapanku. Ada yang aneh di perutku (lagi).
Pita-pita
ingatan memutar kembali bagaimana pertama kalinya aku kenal namanya. Ya, hanya
namanya. Di enam bulan aku mencoba mengikuti passion ku. Menuliskan apa-apa yang mengganggu, mengajak pikiranku
bermain, menenangkan, menyenangkan. Blog menjadi teman setia duniaku.
Dan dia pelan-pelan mengikuti ceritaku.
Di
hampir setiap post-inganku, dia ada, menoreh tanya, cerita, komentar. Dan
seterusnya aku selalu mencari-cari hadirnya di tiap cerita. Menunggunya ketika
dia tak ada. Sama denganku, dia juga menuliskan banyak episode hidupnya di blog
cantiknya. Kami hanya saling mengenal lewat kata, lewat cerita. Seperti sahabat
lama, kami selalu nyambung. Tak ada
canggung. Riang katanya selalu buatku nyaman. Jawa-Sulawesi, kami sering
berbagi cerita. Via e-mail, sesuatu mulai tumbuh di hatiku.
Sampai
akhirnya, aku ingat di salah satu tulisanku, tentang kotaku, tentang Jembatan
lengkung yang pertama di Indonesia, ketiga di dunia setelah Jepang dan Paris,
yang indahnya ingin kubagi dengannya, entah apa yang membuatnya ingin
melihatnya langsung, Dia berniat datang ke Palu, ke kota kecilku.
Dan ,
demi apa, di 16 bulan pertemanan kami, dia kini di depan mataku. Di tengah
ramainya bandara yang luasnya tak seberapa, dia dengan mudah menemukanku lebih
dulu. Aku terlalu asik mengingat awal kami.
“
Andra, kan ? “ Tanyanya dengan senyumnya yang ah. Tuhan, betul yang mereka
bilang, kalau artis-artis di televisi itu akan lebih cantik di dunia nyata. Dia
pun begitu. Dia dengan cepat melepaskan travel bag nya dan menawarkan
tangannya. Sepertinya dia sebahuku, rambutnya berombak sebahu, dan kacamatanya
pas membingkai mata beningnya.
“ Yup,
Dira. Welcome to my classic city ! “ Kujabat tangannya. Jangan tanya
perasaanku! Kau pasti bisa membayangkannya.
“
How’s your travel? Nice ? “ Tanyaku kemudian dengan gugup yang bisa kusimpan
baik-baik.
“
Really nice ! Oh ya, kau benar tentang
lukisan maha indah yang akan kulihat dari pesawat sebelum mendarat ! “ katanya
dengan senyum yang masih di sana.
Bandara
ini sepertinya tak perlu direnovasi. Sudah indah.
Kami
makan siang di rumahku. Orang rumah menyambutnya dengan baik. Dia tamuku, yang
artinya tamu Bapak Ibuku, kakak adik ku.
Dan dia berterima kasih dengan kehangatan keluargaku. Setelah istirahat
dan mengenal ‘isi rumah’, malam nya dia memintaku untuk mengantarnya melihat
Palu malam hari.
Kuajak
dia menyusuri garis pantai mulai dari ujung Taman Ria, melewati barisan cafe,
hotel, dan tentunya Jembatan lengkung yang pernah kugambarkan di blogku. Jalanan
di bawah tiang jembatan tak pernah seindah
ini. Bersamanya.
Kami
berhenti di taman tak jauh dari ujung jembatan. Mencari pengganjal perut yang
mulai tak bersahabat. Kuputuskan untuk singgah di salah satu cafe Pantai
Talise. Seperti biasa, kawasan ini selalu ramai. Cafe-cafe selalu punya tamu.
Jagung bakar menjadi menu kami malam ini.
“ Wow!
Ndra, jembatan lengkung itu jauh lebih indah dari sini ! “ Dia berseru sambil diam menatap ke arah
jembatan. Lalu menatap lampu-lampu penghias pegunungan di depan mata kami.
Matanya membulat, senyum tak hilang dari wajahnya yang tak ber-makeup.
Rambutnya tergerai ditiup angin malam. Aku diam memperhatikannya.
“
Tunggu, kenapa kita gak berfoto di sini? “ Dia sedikit mengagetkanku.
Aku
mengeluarkan kamera saku ku dan meminta tolong salah satu pengamen untuk
memotret kami. Kuberanikan diri untuk pindah duduk di sampingnya, merangkulnya
seperti teman lama. Dia tak menolaknya. Sesuatu di hatiku hampir meledak,
membuncah. Aku jatuh cinta pada jembatan lengkung itu. Jatuh cinta padanya.
Selama
tiga hari dia di Palu, kami selalu bersama. Hari terakhir sebelum dia kembali.
Pagi-pagi sekali kami ke jembatan lengkung itu. Kawan, cobalah, pagi-pagi
sekali seperti apa yang pernah kami lakukan. Berjalan di bawah kokohnya
jembatan. Menikmati warnanya di antara lukisan pegunungan di sudut-sudut
jembatan. Mengabadikan lebih banyak keindahannya.
Pagi
itu aku meminta sesuatu di atas jembatan lengkung ini. Jembatan kebanggaan.
Kalian mungkin bisa menebaknya.
“
Terima kasih, Dira. Aku tak berharap ini terakhir kalinya kita bertemu, senang
bisa berbagi denganmu. Tunggu aku..... Kupikir, aku akan rindu merindumu ”
Kukatakan itu sebelum dia masuk ke ruang tunggu bandara, tempat bayanganku
tentangnya pertama kali jadi nyata.
“
Sama-sama, Ndra ! Justru aku yang harusnya banyak-banyak berterima kasih. Kau
tuan rumah yang sangat-sangat baik. Aku juga. Akan mengingatmu. Rindu itu pasti
ada “ ucapnya tersenyum. Senyum yang aku
tak tahu kapan aku bisa melihatnya lagi.
Tak
ada selamat tinggal. Tapi pula tak ada aku mencintaimu. Dira pergi dengan
senyumnya, dan matanya yang seperti bicara tentang rasa. Aku pulang, kembali ke
dunia tanpa wujudnya di depan mataku.
Berbulan-bulan
kemudian, kami tetap keep contact. Via
email, komentar di blog. Kabar
terakhir darinya, dia harus berpindah ke ujung Sumatera untuk urusan
pekerjaannya. Jarak semakin menjauhiku darinya. Cinta jarak jauh tak akan semudah
di sinetron-sinetron itu. Aku memilih diam di tempat begini. Yang penting dia
tak betul-betul pergi dari hati.
Jembatan
lengkung menjadi temanku, ketika aku betul-betul merindunya. Aku menunggu, dia
pun begitu. Rasa ‘aneh’ di hatiku masih ada, seperti yang dulu. Kami tetap
berteman baik, hingga kini, dan tak tahu kemana bola waktu membawanya. Yang aku
pinta, kelak jembatan lengkung kokoh di hatiku akan berujung di hatinya.
Kunjungan dan follow untuk sahabat blog, saya tunggu ia kunjungan dan follow baliknya, salam kenal dari saya Sofyan Daud...
ReplyDelete