Friday, June 07, 2013

AKu, Dia dan Jembatan Lengkung Itu

Januari tak pernah seindah ini. Langit biru, burung-burung kecil kesana kemari, seperti pentas dengan pelangi di langit cantik jadi latarnya. Dedaunan masih setia menemani sang pohon.

Matahari pelan-pelan hendak beristirahat, memecah sinarnya menjadi semburat jingga di ujung langit. Selalu ada ketenangan yang ditinggalkannya sebelum betul-betul pergi.  Aku selalu bisa jatuh cinta pada senja. Tenangnya, teduhnya, tentang pulang untuk cinta.

“ Besok aku sampai.  Mungkin sekitar jam 12. Nanti aku hubungi kembali. Mohon bantuannya :D “

Kubaca kembali sms nya. Entahlah, senja hari ini agak beda. Di tepi garis pantai, pinggir jalan, aku menikmati sore ini. Kulihat motorku yang kuparkir tak jauh dari  tempatku menunggu matahari pulang, ditemani motor-motor penikmat senja di Kotaku. Indah. Tukang parkir yang dengan semangatnya berteriak, meniup pluit, setiap ada kendaraan yang datang atau pergi juga terlihat indah. Apalagi awan-awan di langit jingga di atas sana. Angin laut, bunyi ombak. Ah, aku senyum sendiri.

“ Ok. Cant wait to see u tomorrow ! “ Replied. Aku baru membalas sms nya yang masuk ke inboxku, siang tadi. Ada segar yang terbawa ketika kubayangkan akan seperti apa pertemuanku dengannya besok. Bagaimana rupanya? Apa yang akan kulakukan pertama kali? Canggungkah dia? Atau justru aku yang tak akan senyaman di pesan-pesan sebelumnya? Ahh, Lantunan nyanyian ayat-ayat suci dari pengeras-pengeras suara masjid memecahkan khayalanku. Sudahlah, besok akan kudapati jawabnya. Aku pulang dengan senyum di sepanjang jalan.



Esoknya, aku ijin dari sekolah yang setahun ini jadi tempatku mengabdi. Syukurlah Kepala Sekolah dan murid-muridku mengerti. Kuajukan alasan akan menjemput kerabat yang datang dari luar kota. Aku tak berbohong bukan? Sehabis dapat ijin, kularikan motorku ke Mutiara, airport di kotaku, Palu. Lagi-lagi, jalan raya tak pernah seindah ini.

Kulihat layar kecil di bandara mungil ini, sementara. Bandara-ku ini sedang dalam renovasi besar-besaran. Semoga dia tak kaget melihat klasiknya terminal pesawat ini ketika mendarat. Apalagi setelah melihat lukisan maha indah dari jendela pesawat. Oh Tuhan, sekitar 20 menit lagi burung besi itu datang membawanya di hadapanku. Ada yang aneh di perutku (lagi).

Pita-pita ingatan memutar kembali bagaimana pertama kalinya aku kenal namanya. Ya, hanya namanya. Di enam bulan aku mencoba mengikuti passion ku. Menuliskan apa-apa yang mengganggu, mengajak pikiranku bermain, menenangkan,  menyenangkan. Blog menjadi teman setia duniaku. Dan  dia pelan-pelan mengikuti ceritaku.

Di hampir setiap post-inganku, dia ada, menoreh tanya, cerita, komentar. Dan seterusnya aku selalu mencari-cari hadirnya di tiap cerita. Menunggunya ketika dia tak ada. Sama denganku, dia juga menuliskan banyak episode hidupnya di blog cantiknya. Kami hanya saling mengenal lewat kata, lewat cerita. Seperti sahabat lama, kami selalu nyambung. Tak ada canggung. Riang katanya selalu buatku nyaman. Jawa-Sulawesi, kami sering berbagi cerita. Via e-mail, sesuatu mulai tumbuh di hatiku.

Sampai akhirnya, aku ingat di salah satu tulisanku, tentang kotaku, tentang Jembatan lengkung yang pertama di Indonesia, ketiga di dunia setelah Jepang dan Paris, yang indahnya ingin kubagi dengannya, entah apa yang membuatnya ingin melihatnya langsung, Dia berniat datang ke Palu, ke kota kecilku.

Dan , demi apa, di 16 bulan pertemanan kami, dia kini di depan mataku. Di tengah ramainya bandara yang luasnya tak seberapa, dia dengan mudah menemukanku lebih dulu. Aku terlalu asik mengingat awal kami.

“ Andra, kan ? “ Tanyanya dengan senyumnya yang ah. Tuhan, betul yang mereka bilang, kalau artis-artis di televisi itu akan lebih cantik di dunia nyata. Dia pun begitu. Dia dengan cepat melepaskan travel bag nya dan menawarkan tangannya. Sepertinya dia sebahuku, rambutnya berombak sebahu, dan kacamatanya pas membingkai mata beningnya.

“ Yup, Dira. Welcome to my classic city ! “ Kujabat tangannya. Jangan tanya perasaanku! Kau pasti bisa membayangkannya.

“ How’s your travel? Nice ? “ Tanyaku kemudian dengan gugup yang bisa kusimpan baik-baik.

“ Really nice ! Oh ya,  kau benar tentang lukisan maha indah yang akan kulihat dari pesawat sebelum mendarat ! “ katanya dengan senyum yang masih di sana.

Bandara ini sepertinya tak perlu direnovasi. Sudah indah.

Kami makan siang di rumahku. Orang rumah menyambutnya dengan baik. Dia tamuku, yang artinya tamu Bapak Ibuku, kakak adik ku.  Dan dia berterima kasih dengan kehangatan keluargaku. Setelah istirahat dan mengenal ‘isi rumah’, malam nya dia memintaku untuk mengantarnya melihat Palu malam hari.

Kuajak dia menyusuri garis pantai mulai dari ujung Taman Ria, melewati barisan cafe, hotel, dan tentunya Jembatan lengkung yang pernah kugambarkan di blogku. Jalanan di bawah tiang jembatan  tak pernah seindah ini. Bersamanya.

Kami berhenti di taman tak jauh dari ujung jembatan. Mencari pengganjal perut yang mulai tak bersahabat. Kuputuskan untuk singgah di salah satu cafe Pantai Talise. Seperti biasa, kawasan ini selalu ramai. Cafe-cafe selalu punya tamu. Jagung bakar menjadi menu kami malam ini.

“ Wow! Ndra, jembatan lengkung itu jauh lebih indah dari sini ! “  Dia berseru sambil diam menatap ke arah jembatan. Lalu menatap lampu-lampu penghias pegunungan di depan mata kami. Matanya membulat, senyum tak hilang dari wajahnya yang tak ber-makeup. Rambutnya tergerai ditiup angin malam. Aku diam memperhatikannya.



“ Tunggu, kenapa kita gak berfoto di sini? “ Dia sedikit mengagetkanku.

Aku mengeluarkan kamera saku ku dan meminta tolong salah satu pengamen untuk memotret kami. Kuberanikan diri untuk pindah duduk di sampingnya, merangkulnya seperti teman lama. Dia tak menolaknya. Sesuatu di hatiku hampir meledak, membuncah. Aku jatuh cinta pada jembatan lengkung itu. Jatuh cinta padanya.

Selama tiga hari dia di Palu, kami selalu bersama. Hari terakhir sebelum dia kembali. Pagi-pagi sekali kami ke jembatan lengkung itu. Kawan, cobalah, pagi-pagi sekali seperti apa yang pernah kami lakukan. Berjalan di bawah kokohnya jembatan. Menikmati warnanya di antara lukisan pegunungan di sudut-sudut jembatan. Mengabadikan lebih banyak keindahannya.



Pagi itu aku meminta sesuatu di atas jembatan lengkung ini. Jembatan kebanggaan. Kalian mungkin bisa menebaknya.

“ Terima kasih, Dira. Aku tak berharap ini terakhir kalinya kita bertemu, senang bisa berbagi denganmu. Tunggu aku..... Kupikir, aku akan rindu merindumu ” Kukatakan itu sebelum dia masuk ke ruang tunggu bandara, tempat bayanganku tentangnya pertama kali jadi nyata.

“ Sama-sama, Ndra ! Justru aku yang harusnya banyak-banyak berterima kasih. Kau tuan rumah yang sangat-sangat baik. Aku juga. Akan mengingatmu. Rindu itu pasti ada “  ucapnya tersenyum. Senyum yang aku tak tahu kapan aku bisa melihatnya lagi.

Tak ada selamat tinggal. Tapi pula tak ada aku mencintaimu. Dira pergi dengan senyumnya, dan matanya yang seperti bicara tentang rasa. Aku pulang, kembali ke dunia tanpa wujudnya di depan mataku.

Berbulan-bulan kemudian, kami tetap keep contact. Via email, komentar di blog. Kabar terakhir darinya, dia harus berpindah ke ujung Sumatera untuk urusan pekerjaannya. Jarak semakin menjauhiku darinya. Cinta jarak jauh tak akan semudah di sinetron-sinetron itu. Aku memilih diam di tempat begini. Yang penting dia tak betul-betul pergi dari hati.

Jembatan lengkung menjadi temanku, ketika aku betul-betul merindunya. Aku menunggu, dia pun begitu. Rasa ‘aneh’ di hatiku masih ada, seperti yang dulu. Kami tetap berteman baik, hingga kini, dan tak tahu kemana bola waktu membawanya. Yang aku pinta, kelak jembatan lengkung kokoh di hatiku akan berujung di hatinya. 


1 comment:

  1. Kunjungan dan follow untuk sahabat blog, saya tunggu ia kunjungan dan follow baliknya, salam kenal dari saya Sofyan Daud...

    ReplyDelete