Wednesday, June 26, 2013

(Not) Me ...

Bismillahirrahmanirrahim

Ada yang salah dengan setting-an kepala saya sepertinya. Belakangan ini, saya sedikit lupa bagaimana menikmati rasa syukur. Terlalu banyak mengeluh, banyak menghindar, banyak mengistirahatkan kemampuan saya.  Kalau sudah seperti ini, saya seperti jatuh se jauh-jauhnya ke lubang pengubur semangat. Saya lelah menyemangati diri sendiri, sedang sekeliling saya tak ada yang bisa memahami apa yang saya ingini.

Namanya hidup, ada naik turunnya. Ada susah senangnya. Ada cinta, juga duka. Ihiyyy. Saya mengerti dengan baik  teori-teori hidup dari barisan huruf-huruf juga cerita hidup yang terpaham baik di kepala. Tapi ketika dihadapkan pada praktek yang sebenarnya. Saya butuh sedikit waktu untuk betul-betul memasukkan teori itu ke dalam hidup saya.

Orang bilang, Jangan menyalahkan keadaan. Apalagi menyalahkan orang-orang sekitarmu. Bercerminlah! Lekat-lekat ! Teliti baik-baik tiap senti dirimu. Hidupmu adalah tentang dirimu, bukan dia atau mereka. Kalau kau tak suka, perbaikilah satu-satu! Terima keadaan dengan sebaik-baiknya penerimaan. Kalau masih tak suka, pergilah ! Tempatmu bukan di situ. Dunia terlalu luas untuk hanya kau diami di satu sudutnya, lalu bersungut-sungut menghabiskan energi. Kau punya tempat lain. Takdir lain.

Hidup harus punya tujuan. Untuk sampai di tujuan, kita harus tau jalannya. Banyak jalan dengan masing-masing konsekuensinya. Ada yang lurus saja, belok sana sini, ada yang dekat, juga ada yang jauh dengan pemandangan yang tak sama. Tinggal bagaimana dari awal kau menentukan jalan yang mana kau pilih.  Jangan takut ! Lihatlah tetap ke depan, dan jalanlah di mana seharusnya. Jangan lupa rekam pemandangan yang kau temui, dengan kepalamu, dengan hatimu. Mungkin akan kau dapati lelah beberapa kali. Sabar lah, karena ketika kau lelah, itu artinya kau sudah berpindah ke depan. Maju. Lalu kau akan tersenyum ketika kelak kau selamat dan sampai di tujuan mu. Tepat waktu. 

Saya semakin bingung dengan apa yang saya tulis, teman. Tak ‘nyambung’ sepertinya. Ah saya tak peduli. Yang saya tau adalah saya sedang mencoba mencairkan gumpalan berat di kepala saya  !

Kata teman saya, dunia terlalu ribut! Makanya dia menulis. Sepertinya saya setuju. Telinga saya capek, diteriaki waktu, dibisiki rindu, disumpahi kenangan dan masa depan. Saya ingin tidur sebentar, tapi saya tak ingin ketika tertidur, dunia sudah jauh di depan meninggalkan. Dunia tak pernah menunggu, bukan ???

Mengeluh tak akan pernah menyembuhkan. Tak akan. Saya sakit? Sepertinya. Saya menulis, jadi jangan bilang saya sedang mengeluh. Saya hanya ingin bercerita. Tak berharap ada yang mengerti. Dua tiga pasang mata membaca dari awal sampai baris ini saja, sudah lebih dari cukup untuk saya. Terima kasih juga sudah ‘membuang’ menit-menit kalian untuk mengeja tulisan aneh ini. 




I am not me now...

Saturday, June 22, 2013

Waktu itu, 2001...

Bismillahirrahmanirrahim..

Hari ini anak sekolahan lagi terima Raport ! Jadi ingat jaman dulu. Pas SD tiap terima raport harus bawa kue kue, sama bawa orang tua. Dari bangun tidur udah excited pengen cepat-cepat ke sekolah. Itu saya nya. Or-tu kayanya tidak. Hahahaha. Anaknya gak pernah jadi juara kelas sih. Masuk 10 besar pas kelas tiga atau empat. Itu juga peringkat 8. Saya bukan anak yang pintar, tukang nyontek malah. Saya ingat Pak guru saya pernah melapor waktu mama datang jemput anaknya ini, kalau di sekolah, saya suka nyontek.

Saya malu, pas pulang nya dimarah mama. Saya gak sadar ternyata guru guru itu selalu perhatiin kelakuan anak muridnya. :p.  Harga diri saya jatuh tuh tuh. Saya gak Pede. Mulai dari situ saya usaha buat ga nyontek. Kelas 6, pas kelulusan, semua orang tua diundang datang ke sekolah. Waktu itu yang datang Mama. Saya senang. Karena biasanya papa yang ke sekolah.

10 besar peringkat kelas diumumkan. Saya masuk ga yaa? Kalo masuk, yahhh paling juga di buntut.  Oke 10 sampe 6 besar diumumkan, nama saya ga ada. Pasrah ! Sampe akhirnya, nama saya dipanggil wali kelas. Aaahh, ada di peringkat 1, ehhh bukaan ! Ada di peringkat 4. Alhamdulillah. Siswa di 10 besar maju ke depan beserta orang tuanya. Senangnya saya waktu itu. Mama baru sekali itu resmi datang jadi wali saya dan tidak lagi mendapat laporan jelek tentang anaknya.

Waktu itu, tahun 2001. Yuni Amelia kecil pelan-pelan mengerti bagaimana rasanya bangga dan membanggakan orang tua.

 1995 

Wednesday, June 19, 2013

....


Rabu, 19 Juni 2013.

Sebagian sel-sel otak bahkan hatiku memanggilmu kembali. Memutar lagi memori yang kau tinggalkan. Ah, kenapa aku tak (mau) menghapusnya ketika kau pergi. Atau justru memang aku tak bisa? Kau sedang apa disana? Sibuk kah ? Ya. aku tahu kau sedang sibuk membuat impianmu jadi nyata. Kau sedang bersiap menjemput masa depanmu. Dengan semangatmu. Selalu. Dan aku selalu senang melihatmu seperti itu. That's what I like u the most.

Sudah lama sekali aku tak menulis apa-apa tentangmu. Padahal dulu itu selalu jadi kesukaanku. Menyampaikan apa yang bibirku tak bisa lisankan. Kau selalu tau aku bermasalah dengan itu.  Aku tak tau akan seperti apa ekspresi wajahku kalau kau mendengarnya langsung semua tulisanku. Mungkin seperti raut wajah gadis kelas enam SD ketika teman-temannya tau dia sedang menyukai teman sekolahnya. Yah kupikir akan seperti itu. Sok imut ya ? Biarlah ;p

Aku sedang rindu. Ini saja sepertinya. Aku tak bisa menemukan yang sama sepertimu, atau melebihimu. Aku terus menyamakan tiap nama denganmu. Tapi tak pernah bisa. Tak pernah ada....

Aku baru sadar. Kau tak (kubiarkan) betul-betul pergi ....



Friday, June 07, 2013

AKu, Dia dan Jembatan Lengkung Itu

Januari tak pernah seindah ini. Langit biru, burung-burung kecil kesana kemari, seperti pentas dengan pelangi di langit cantik jadi latarnya. Dedaunan masih setia menemani sang pohon.

Matahari pelan-pelan hendak beristirahat, memecah sinarnya menjadi semburat jingga di ujung langit. Selalu ada ketenangan yang ditinggalkannya sebelum betul-betul pergi.  Aku selalu bisa jatuh cinta pada senja. Tenangnya, teduhnya, tentang pulang untuk cinta.

“ Besok aku sampai.  Mungkin sekitar jam 12. Nanti aku hubungi kembali. Mohon bantuannya :D “

Kubaca kembali sms nya. Entahlah, senja hari ini agak beda. Di tepi garis pantai, pinggir jalan, aku menikmati sore ini. Kulihat motorku yang kuparkir tak jauh dari  tempatku menunggu matahari pulang, ditemani motor-motor penikmat senja di Kotaku. Indah. Tukang parkir yang dengan semangatnya berteriak, meniup pluit, setiap ada kendaraan yang datang atau pergi juga terlihat indah. Apalagi awan-awan di langit jingga di atas sana. Angin laut, bunyi ombak. Ah, aku senyum sendiri.

“ Ok. Cant wait to see u tomorrow ! “ Replied. Aku baru membalas sms nya yang masuk ke inboxku, siang tadi. Ada segar yang terbawa ketika kubayangkan akan seperti apa pertemuanku dengannya besok. Bagaimana rupanya? Apa yang akan kulakukan pertama kali? Canggungkah dia? Atau justru aku yang tak akan senyaman di pesan-pesan sebelumnya? Ahh, Lantunan nyanyian ayat-ayat suci dari pengeras-pengeras suara masjid memecahkan khayalanku. Sudahlah, besok akan kudapati jawabnya. Aku pulang dengan senyum di sepanjang jalan.



Esoknya, aku ijin dari sekolah yang setahun ini jadi tempatku mengabdi. Syukurlah Kepala Sekolah dan murid-muridku mengerti. Kuajukan alasan akan menjemput kerabat yang datang dari luar kota. Aku tak berbohong bukan? Sehabis dapat ijin, kularikan motorku ke Mutiara, airport di kotaku, Palu. Lagi-lagi, jalan raya tak pernah seindah ini.

Kulihat layar kecil di bandara mungil ini, sementara. Bandara-ku ini sedang dalam renovasi besar-besaran. Semoga dia tak kaget melihat klasiknya terminal pesawat ini ketika mendarat. Apalagi setelah melihat lukisan maha indah dari jendela pesawat. Oh Tuhan, sekitar 20 menit lagi burung besi itu datang membawanya di hadapanku. Ada yang aneh di perutku (lagi).

Pita-pita ingatan memutar kembali bagaimana pertama kalinya aku kenal namanya. Ya, hanya namanya. Di enam bulan aku mencoba mengikuti passion ku. Menuliskan apa-apa yang mengganggu, mengajak pikiranku bermain, menenangkan,  menyenangkan. Blog menjadi teman setia duniaku. Dan  dia pelan-pelan mengikuti ceritaku.

Di hampir setiap post-inganku, dia ada, menoreh tanya, cerita, komentar. Dan seterusnya aku selalu mencari-cari hadirnya di tiap cerita. Menunggunya ketika dia tak ada. Sama denganku, dia juga menuliskan banyak episode hidupnya di blog cantiknya. Kami hanya saling mengenal lewat kata, lewat cerita. Seperti sahabat lama, kami selalu nyambung. Tak ada canggung. Riang katanya selalu buatku nyaman. Jawa-Sulawesi, kami sering berbagi cerita. Via e-mail, sesuatu mulai tumbuh di hatiku.

Sampai akhirnya, aku ingat di salah satu tulisanku, tentang kotaku, tentang Jembatan lengkung yang pertama di Indonesia, ketiga di dunia setelah Jepang dan Paris, yang indahnya ingin kubagi dengannya, entah apa yang membuatnya ingin melihatnya langsung, Dia berniat datang ke Palu, ke kota kecilku.

Dan , demi apa, di 16 bulan pertemanan kami, dia kini di depan mataku. Di tengah ramainya bandara yang luasnya tak seberapa, dia dengan mudah menemukanku lebih dulu. Aku terlalu asik mengingat awal kami.

“ Andra, kan ? “ Tanyanya dengan senyumnya yang ah. Tuhan, betul yang mereka bilang, kalau artis-artis di televisi itu akan lebih cantik di dunia nyata. Dia pun begitu. Dia dengan cepat melepaskan travel bag nya dan menawarkan tangannya. Sepertinya dia sebahuku, rambutnya berombak sebahu, dan kacamatanya pas membingkai mata beningnya.

“ Yup, Dira. Welcome to my classic city ! “ Kujabat tangannya. Jangan tanya perasaanku! Kau pasti bisa membayangkannya.

“ How’s your travel? Nice ? “ Tanyaku kemudian dengan gugup yang bisa kusimpan baik-baik.

“ Really nice ! Oh ya,  kau benar tentang lukisan maha indah yang akan kulihat dari pesawat sebelum mendarat ! “ katanya dengan senyum yang masih di sana.

Bandara ini sepertinya tak perlu direnovasi. Sudah indah.

Kami makan siang di rumahku. Orang rumah menyambutnya dengan baik. Dia tamuku, yang artinya tamu Bapak Ibuku, kakak adik ku.  Dan dia berterima kasih dengan kehangatan keluargaku. Setelah istirahat dan mengenal ‘isi rumah’, malam nya dia memintaku untuk mengantarnya melihat Palu malam hari.

Kuajak dia menyusuri garis pantai mulai dari ujung Taman Ria, melewati barisan cafe, hotel, dan tentunya Jembatan lengkung yang pernah kugambarkan di blogku. Jalanan di bawah tiang jembatan  tak pernah seindah ini. Bersamanya.

Kami berhenti di taman tak jauh dari ujung jembatan. Mencari pengganjal perut yang mulai tak bersahabat. Kuputuskan untuk singgah di salah satu cafe Pantai Talise. Seperti biasa, kawasan ini selalu ramai. Cafe-cafe selalu punya tamu. Jagung bakar menjadi menu kami malam ini.

“ Wow! Ndra, jembatan lengkung itu jauh lebih indah dari sini ! “  Dia berseru sambil diam menatap ke arah jembatan. Lalu menatap lampu-lampu penghias pegunungan di depan mata kami. Matanya membulat, senyum tak hilang dari wajahnya yang tak ber-makeup. Rambutnya tergerai ditiup angin malam. Aku diam memperhatikannya.



“ Tunggu, kenapa kita gak berfoto di sini? “ Dia sedikit mengagetkanku.

Aku mengeluarkan kamera saku ku dan meminta tolong salah satu pengamen untuk memotret kami. Kuberanikan diri untuk pindah duduk di sampingnya, merangkulnya seperti teman lama. Dia tak menolaknya. Sesuatu di hatiku hampir meledak, membuncah. Aku jatuh cinta pada jembatan lengkung itu. Jatuh cinta padanya.

Selama tiga hari dia di Palu, kami selalu bersama. Hari terakhir sebelum dia kembali. Pagi-pagi sekali kami ke jembatan lengkung itu. Kawan, cobalah, pagi-pagi sekali seperti apa yang pernah kami lakukan. Berjalan di bawah kokohnya jembatan. Menikmati warnanya di antara lukisan pegunungan di sudut-sudut jembatan. Mengabadikan lebih banyak keindahannya.



Pagi itu aku meminta sesuatu di atas jembatan lengkung ini. Jembatan kebanggaan. Kalian mungkin bisa menebaknya.

“ Terima kasih, Dira. Aku tak berharap ini terakhir kalinya kita bertemu, senang bisa berbagi denganmu. Tunggu aku..... Kupikir, aku akan rindu merindumu ” Kukatakan itu sebelum dia masuk ke ruang tunggu bandara, tempat bayanganku tentangnya pertama kali jadi nyata.

“ Sama-sama, Ndra ! Justru aku yang harusnya banyak-banyak berterima kasih. Kau tuan rumah yang sangat-sangat baik. Aku juga. Akan mengingatmu. Rindu itu pasti ada “  ucapnya tersenyum. Senyum yang aku tak tahu kapan aku bisa melihatnya lagi.

Tak ada selamat tinggal. Tapi pula tak ada aku mencintaimu. Dira pergi dengan senyumnya, dan matanya yang seperti bicara tentang rasa. Aku pulang, kembali ke dunia tanpa wujudnya di depan mataku.

Berbulan-bulan kemudian, kami tetap keep contact. Via email, komentar di blog. Kabar terakhir darinya, dia harus berpindah ke ujung Sumatera untuk urusan pekerjaannya. Jarak semakin menjauhiku darinya. Cinta jarak jauh tak akan semudah di sinetron-sinetron itu. Aku memilih diam di tempat begini. Yang penting dia tak betul-betul pergi dari hati.

Jembatan lengkung menjadi temanku, ketika aku betul-betul merindunya. Aku menunggu, dia pun begitu. Rasa ‘aneh’ di hatiku masih ada, seperti yang dulu. Kami tetap berteman baik, hingga kini, dan tak tahu kemana bola waktu membawanya. Yang aku pinta, kelak jembatan lengkung kokoh di hatiku akan berujung di hatinya.