Tuesday, August 28, 2012

aku tak tahu ini apa :(

Bismillahirrahmanirrahim

Seharusnya aku suka, semestinya aku menunggu, seperti yang lalu..
Tapi, tak tau mengapa, belakangan ini hujan tak lagi sama. Titik-titik air deras dari langit seperti gemuruh menakutkan. Langit kelabu pun begitu.

Mungkin karena tanahku sedang berduka, ketakutan.
Belum hilang luka saudara-saudarakudi Kulawi, Gumbasa, Lindu. Rumah mereka rata karena gempa sehari sebelum hari raya. Allah tambahkan ujian di Boyangtongo, Lemusa, Dolago, Gangga, Nambaru, dan Tindaki, tiga hari lalu. Banjir bandang. Dua nyawa telah tiada dan ribuan jiwa terpaksa harus mengungsi. Apa kuasa, rumah mereka dibawa aliran air malam itu.

Entah kenapa, aku merasa Pemilik Rumah sedang marah melihat tingkah banyak penghuni yang hanya menumpang kian hari kian tak tahu diri. 

Aku malu. Takut. Aku serasa anak kecil di tengah ramai orang-orang asing. Aku sendiri, ingin bercerita tentang takutku terhadap hujan, langit gelap, takut sendiri, takut ditinggal, takut terlupa, takut terikut mereka yang tak kutahu kemana langkahnya. Aku ingin bercerita tentang semua itu, lalu bisa melihat takut itu perlahan-lahan pergi. Tapi, tak tahu kepada siapa....
Ah, astaghfirullah, aku punya Allah yang Maha Pengasih. Ya, harusnya hanya kepada Dia. 

Aku seorang biasa, yang hanya bisa memohon dalam doa untuk saudara-saudaraku yang mungkin lebih takut dariku. Semoga kalian kuat, ikhlas mengerti musibah ini. 
Saudaraku, mungkin Allah sedang cemburu, kita jauh dariNya.  Ia ingin kita mendekatiNya. 

Bersabarlah, sebut namaNya, mengibalah..

Di luar sana awan gelap masih sembunyi, semoga malam ini tak hujan lagi...



Friday, August 17, 2012

Catatan Kecil di Ujung Ramadhan

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr wb. 28 Ramadhan 1433 H.

Time runs fast, rite? Perasaan masih kemaren romansa awal puasa menghinggapi tiap masjid yang sesak dipenuhi jamaahnya. Eh, sekarang, sebagian besar  jamaahnya tak tau berpencar di mana?! Masjid ditinggalkan dengan kondisi 1 shaf jamaah perempuan. Dan 2 shaf lebih sedikit untuk jamaah yang pas dibelakangnya Imam . Orang bilang fenomena aksesoris pengindah lebaran yang justru lebih diindahkan dari yang seharusnya, hati.

Di waktu-waktu begini pula, orang-orang akan rindu dan menunaikan rindunya untuk berada di kampung halaman. Mudik menjadi keharusan untuk bertemu orang-orang terkasih yang jauh di kampung sana. Well, sungguh nikmat rasanya melihat  semangat orang-orang ini. Menempuh daratan, lautan, beratus-ratus, bahkan beribu kilometer tak jadi alasan untuk tidak pulang berlebaran. Yah, hanya melihat saja, saya bisa merasakan. Saya tak pernaah mudiiik. Palu sepertinya telah menjadi kampung saya, tempat hati saya bersinggasana. Ahahahaa.

Bicara tentang tradisi ini, sekitar satu jam yang lalu, papa saya mudik, pemirsa! Hiks, papa mudik bersama kerabat dekat yang kebetulan 1 kampuaang di Bone (Salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan). Hampir tiap lebaran, papa pulang mendarat ke kampung halamannya. Dan kami, anak dan istrinya, terpaksa ditinggal berlebaran tanpa dirinya, eeeaaa ;p. Saya dan adik masih setengah sadar (baru bangun) ketika papa pamit karena Om Andi (kerabat papa) datang menjemput. Salaman, cipika cipiki sama papa. Ah, untung saja masih gelap pas air mata saya jatuh gegara sedih ditinggal mudik sama papa. Cengeng!

Yaaah, saya harus sabar menahan rindu untuk ledek2an sama papa. Untuk dengar papa bilang, “astagaaa, luuaassssnya anaaakku ini” hahaahaaa. Well, semoga papa sampai dan pulang kembali dengan selamat. Aamiin.

Januari, 1 2011 

Dan satu lagi, saya dan adik harus siap jadi anak yang MANDIRI. Mau makan? Masak sendiri! Karena papa mudik, artinya mama tidak bakalan masak serajin kalau papa ada di rumah. Kalau anak-anaknya lapar, pasti disuruh masak sendiri. Olalaaaa, Ini mama kandung, apa mama tiriii yah ? Dan papa selalu tertawa kalo saya melapor tentang tradisi mama kalo ditinggal mudik sama suaminya tercinta. Hahahaaaa. 

Well, buat yang mudik, selamat berlebaran di kampung halaman ya! Semoga hari lebaran kita dipenuhi berkah Allah SWT, dipenuhi maaf, cinta dan kasih orang-orang tersayang, dan semoga hati dan diri kita kembali ke fitrah, aamiin ya Rabbal alamin !

From here

Buat semuanya, teman-teman yang bergembira menunggu 1 Syawal 1433H, semoga kita kembali dipertemukan dengan Ramadhan 1434 H dengan semangat ibadah yang lebih, aamiin. Dan akhirul kata saya ucapkan Minal aidin Walfa’idzin, Mohon maaf untuk semua huruf, kata dan cerita yang kurang berkenan.  Selamat Idul Fitri semuaaa :) 

From here



Friday, August 10, 2012

Atau mungkin Untuk kau , Untuk aku , Bukan kita.

Siang ini mungkin sama seperti siang kemarin, 2 hari lalu, seminggu, sebulan, ah..

Masih sama. Langit di atas sana tak berganti warna, pohon-pohon itu masih setia bertatap-tatapan, anak-anak kecil yang berlari-larian di lorong itu masih berpikir bahwa bermain dan kabur dari suruhan tidur mama nya siang terik seperti ini adalah kemenangan yang sempurna. Ya. Sama.

Pun begitu denganku. Sama dan setia menari-narikan cerita yang sama berulang-ulang. Cerita yang tak kutemui ujungnya. Sampai kini.

Terpaksa ku putar memori itu, kelabu.  Mencari-cari slide yang bisa dan tak boleh teringat. Ah, aku benci rasa tak nyaman seperti ini. Karena tangis akan begitu mudah menghampiri.

Kau tahu, sampai sekarang aku tak mengerti. Tentangmu, tentang hati, tentang diri. Padahal dulu, aku yang terbaik dalam memahami, itu kata mu. “kadang kau seperti mama, tak perlu kata, kau tau apa yang sedang kurasakan”. Lalu aku akan memperlihatkan deretan gigi kecilku, “ traktir aku es krim, ya”

Aku yang tak dihadiahiNya saudara dari rahim yang sama, tapi aku tahu rasanya memainkan peran sebagai adik yang merengek minta ini itu, bertanya semua hal, tertawa lalu tiba-tiba menangis di depanmu. Juga kadang aku lah kakak yang akan cerewet menceramahimu kalau aku tak suka melihatmu diremehkan, tapi kau hanya akan tersenyum, mukaku bertambah sekian banyak jeleknya kalau lagi marah, katamu. PadaNya , aku selalu bersyukur memilikimu.

Memainkan warna-warna, mencipta kisah, memanggil marah, lalu mengusirnya seketika, mendebat segalanya tapi hanya berujung tawa. Kita.  Hidupku nyaris sempurna. Kau selalu ada. Dengan nyaman yang selalu kau bawa.

Mereka kira kita sepasang merpati, hahaaa. Kita selalu menertawai pikiran mereka. Tak pakai rasa, kau dan aku mengalir begitu saja. Mungkin mereka tak percaya, ya sudahlah, hati kita yang tahu semua. Kita terus berjalan, saling menjaga dalam ramai tanya.

Dan rupanya aku terlupa kalau segala sesuatu selalu ber-masa, ber-waktu. Tak teringat kalau kehilangan juga bisa singgah menyapaku. Menghapus bahagia, membunuh nyaman dalam singkat jeda. Memaksaku untuk lupa bagaimana meminjam raga mu untuk melengkapi ceritaku.

Ada yang menusuk di hati, ketika aku tersadar bahwa kau tak lagi di sini, menemani detikku, jarakku, menjadi lawan bicaraku tentang semua yang orang-orang tak pernah mengerti. Kau pergi ketika semuanya masih baik-baik saja.

Kita salah, kita keliru. Kita mengaburkan apa yang semestinya, semua ada batasnya. Allah SWT dan Rasul kita sudah mengatur segalanya. Itu alasanmu. Bahwa seharusnya tak ada hubungan apa-apa antara dua manusia, kita berbeda.

“Kelak, ketika kau memang untukku, dan aku juga begitu. Kita akan melanjutkan skenarioNya. Anggap ini jeda untuk janjiNya yang terlalu indah. Doakan saja. Aku juga sama.”

Aku tak tahu apa. Aku tak tahu. Mungkin aku hanya belum siap. Meski aku mengerti.

1 tahun setelah kau pergi, kau tetap di sana, tak menoleh, tak kembali. Seperti kata-katamu. Semestinya aku bahagia, kau menjadi lebih baik segalanya. Kau mendapat hidayahNya.

from here

Aku tahu, ini cara mu menjaga ku, kau membuatku juga menjagamu. Kita tetap saling menjaga, karena Allah SWT, hingga DIA lah yang akan membuat cerita baru untuk kita. Lebih indah dari cerita lalu.  Atau mungkin untuk kau , untuk aku , bukan kita.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia karena kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah,,,,” 
(Ali Imran: 110)